Senin, 19 April 2021

Inkonsistensi Aksara Pasangan Carakan

Aksara (idealnya) memiliki standarisasi meski beda paugeran karena masing-masing aksara adalah lambang bunyi dari sebuah bahasa. Misalnya aksara latin: huruf kapitalnya f ya F, huruf kecilnya ya f. Apapun paugerannya akan konsisten seperti itu, baik itu dari Van Ophuijsen, Soewandi, EYD, sampai PUEBI ya begitu. Bahkan pada ejaan bahasa Inggris, bahasa Perancis, Italia, Jerman, dll juga begitu. Tapi sayangnya aksara jawa/carakan gagal memiliki konsistensi semacam itu sehingga beda paugeran akan bisa beda huruf. Bahkan huruf yg sama, pasangannya bisa berbeda jika berganti paugeran. Ini terjadi pada aksara pasangan Sa dalam tata tulis Tradisional (Trad) dan Simplified. 

#AksaraJawa #Carakan 



Aksara Jawa Ejaan Sansekerta (2)


Sedalam pengetahuan saya yg dangkal, paugeran itu kalau dinarasikan dlm kehidupan sastra modern itu semacam sistem ejaan. Paugeran mrpk sebuah produk sastra semasa & selingkung dari pihak yg mengeluarkan/menggunakan paugeran tsb. Misalnya bahasa melayu, di Indonesia & malaysia memilki kaidah yg berbeda. Lalu mana yg salah & benar? Ya tidak ada yg salah atau benar karena itu kaidah selingkung negara masing-masing. 
Nah.. paugeran SW itu kan produk mataram, tidak ada benar/salah karena itu adlh kesepakatan dr sastrawan selingkung mataram dlm membuat tata tulis yg mereka gunakan dlm kegiatan sastra mereka. Sama juga dgn KBJ, itu adalah produk kesepakatan sastrawan jawa masa itu dlm menuliskan karya² dari para sastrawan ini.. 

Kemudian dewasa ini kita menemukan pembenturan² antar paugeran, salah satunya adalah dgn rumus warga swara dari bahasa sanskerta/sanskrit..

Nah.. pertanyaan saya kemudian adlh: 
1. Dari manakah rumus warga aksara bahasa sanskrit itu dibakukan? Terdapat dlm naskah apa? 
2. Mulai kapan & sampai kapan rumus tersebut dipakai untuk bahasa & aksara jawa? 
3. Bagaimana sifat rumus bahasa sanskrit tersebut terhadap bahasa & aksara jawa? Apakah berlaku mutlak, ada perkecualian, atau berlaku kasuistik/khusus? 

Aksara Jawa Ejaan Sansekerta?

Menulis Jawa dengan aturan Sanskrit itu tak ubahnya menulis Bahasa Indonesia dengan ejaan kolonial. Dulu saat menulis Bahasa Indonesia kita pernah pakai Ejaan Van Ophuijsen, tetapi akhirnya kita sesuaikan melalui Ejaan Suwandi, EYD, hingga akhirnya kini kita ada PUEBI.. 

Dalam proses evolusi & adaptasi tulisan serta tata tulis dan ejaan Aksara Jawa, Aksara kawi adalah saksi dimana proses itu berjalan. Yang mana pada awalnya masih kental akan kaidah dan makhraj Sansekerta dan menjalani proses ke Jawa pertengahan hingga Jawa baru mengalami perubahan dari murdhanya menjadi dantya mahaprana. Dari kanthya mahaprana menjadi kanthya alpaprana..
Proses penyesuaian itu mutlak berjalan dan suatu keniscayaan pada asimilasi bahasa. Di awal-awal memang masih kental dg bunyi asal. Seiring berjalan waktu ada beberapa bunyi yang menyesuaikan lidah penyerap bahasa.. 

(Disarikan dari hasil diskusi dgn para winasis).

Sabtu, 17 April 2021

Masjid/مسجد dalam Aksara Jawa



Sempat ramai bagaimana menuliskan "Masjid" dalam Aksara Jawa Baru (Carakan), setidaknya ada dua pendapat yaitu:
A. Pendapat yang menyatakan bahwa masjid ditulis dengan menggunakan aksara Sa dantya (berkode "a" pada gambar) dengan alasan bahwa bunyi masjid/مسجد itu huruf Sa-nya adalah Sin/س yang mana Sin/س ini setara dengan Sa Dantya (ꦱ). 
B. Pendapat yang menyatakan bahwa Masjid ditulis dengan aksara Carakan Sa Talawya (palatal) dengan alasan bahwa rumus warga aksara dalam Bahasa Sanskerta menyatakan jika bunyi Sa sigeg/mati jika bertemu aksara Ja maka itu adalah aksara Sa Talawya (ꦯ). 

Perdebatan seperti ini sebenarnya menarik dan menambah wawasan/khazanah keaksaraan bagi kita, masing-masing pihak memiliki dasar argumen yang memperkuat pendapat mereka. Di sini kita akan mencoba memahami argumen yang ditawarkan dari keduanya.. 

Pendapat A menitikberatkan kepada cara menuliskan aksara Jawa yang menghasilkan bunyi yang semirip mungkin dengan suara/bunyi yang terdapat pada bahasa jawa dan bahkan bahasa asalnya (bahasa arab). Jadi ketika tertulis ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ maka ketika dibaca akan terdengar mirip dengan مسجد/masjid dalam bahasa jawa maupun arab.. 

Pendapat B menitikberatkan kepada cara penulisan aksara Jawa agar konsisten dengan kaidah penulisan Bahasa Sanskerta yang mana rumusnya adalah jika aksara Sa sigeg/mati bertemu aksara Ja maka aksara Sa tersebut adalah aksara Sa Talawya. Secara kaidah/rumus Bahasa Sanskerta maka rumus ini bisa dipakai, tetapi dalam proses transliterasi maka bunyi yang dihasilkan ꦩꦯ꧀ꦗꦶꦢ꧀ adalah maʃjid/maśjid (مشجد), sudah berbeda bunyi dan (mungkin juga) berbeda makna dari kata yang dimaksudkan. Selain itu pendapat B ini justru membenturkan kaidah penulisan dalam upaya transliterasi [masjid adalah kata Bahasa Jawa (bukan Sanskerta) dan hasil serapan dari Bahasa Arab, bukan Sanskerta]. Yang perlu diketahui juga bahwa rumus Sa mati + Ja = Sa Talawya + pasangan Ja ini ternyata juga tidak dipakai dalam menuliskan Masjid di dalam Bahasa India yang merupakan anak Bahasa Sanskerta, Orang/Bahasa India menuliskan masjid dengan tulisan मस्जिद yang memakai Sa Dantya, bukan Sa Talawya. Artinya rumus warga aksara tidak bisa berlaku mutlak, terutama jika menuliskan kata yang berasal dari bahasa asing (non-sanskerta) karena bunyi yang dihasilkan akan menjadi berbeda dengan bunyi dan makna yang dimaksudkan.. 
Selain itu, Bahasa Jawa dan Aksara Jawa bukanlah Bahasa Sanskerta yang harus mengikuti kaidah Sanskerta secara penuh. Dalam Sanskerta tidak terdapat E pêpêt tetapi dalam Aksara Jawa terdapat E pêpêt, maka jika dipaksakan harus kembali sesuai dengan kaidah Sanskerta maka kita bisa kehilangan E pêpêt yang telah kita miliki.. 

Lalu, manakah yang paling benar? 
Sampai saat ini saya belum berani menyimpulkan pendapat mana yang paling benar (takut dihujat "mendem kamus" dan/atau "mendem rumus"), tetapi sebagai orang desa yang dianggap kurang kompeten oleh para winasis yg ndangak di sana saya memiliki tips aman untuk menulis masjid dalam bahasa Jawa: saya menulisnya sebagai Mejid (ꦩꦼꦗꦶꦢ꧀) saja.. 🤭😁✌️