Kamis, 29 Oktober 2009

FACEBOOK, cara gaul anak sekarang?

Akhir-akhir ini sering kita dengar tentang maraknya kasus orang/gadis hilang karena jadi korban facebook. Hal ini tidak bisa kita judge bahwa facebook adalah 'barang haram' yang mencari tumbal & korban.

Facebook pada dasarnya hanya sebuah alat komunikasi. Ya, alat komunikasi yang asik dan melenakan. Namun, perlu kita sadari bahwa facebook merupakan alat komunikasi dengan derajat kepercayaan yang rendah. Rendah karena 'akun' facebook banyak yang menggunakan nama/nickname palsu ataupun tiruan, ada juga akun akal-akalan. Atau bahkan akun yang sengaja dibuat untuk usaha 'berdagang'.

Banyaknya akun palsu ini muncul karena adanya suatu tujuan/itikat dari pemilik akun tersebut. entah tujuan baik atau buruk. ada yang beralasan untuk menjaga privacy karena facebook adalah wahana berekspresi tanpa batas, ada juga yang beralasan memakai nickname aneh untuk sekadar gaya-gayaan.

Satu hal yang ingin saya tekankan, maraknya kasus yang ada tidak terlepas dari kondisi mentalitas dari masyarakat kita yang belum siap terhadap perubahan dan kemajuan teknologi, atau dalam bahasa kerennya: Cultural Shock. Kondisi inilah yang memunculkan banyaknya 'junker' (atau dalam beberapa forum seperti KASKUS disebut dengan 'ALAY') yang berkeliaran di dunia maya, khususnya facebook. Untuk itu, ada baiknya kita selektif dan waspada dalam memilih hal-hal yang ada (misal: berita/kabar ataupun rayuan junker/buaya alay yang belum jelas kebenarannya) agar terhindar dari kejadian negatif yang tidak kita inginkan.

Senin, 14 September 2009

Antropologi Kiri

Dan orang-orang yang terhitung paling jujur di antara mereka tengah bertanya-tanya di dalam hati, pertanyaan yang mereka tidak berani menjawabnya sendiri: Adakah memang Karl tua itu benar? (Alan Woods dan Ted Grant, 2005)
Berlagak seperti seorang demokrat sejati, Pedro Carmonas, pemimpin Asosiasi Pemilik Perusahaan mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden baru beserta kroni-kroninya dengan secarik kertas dan sebuah pena membubarkan parlemen Venezuela yang terpilih secara demokratis. Media internasional pun dengan segera (seperti sudah terencana sebelumnya) melaporkan kudeta ini sebagai sebuah gerakan popular demokratis.
Antropologi adalah sebuah disiplin keilmuan yang dilahirkan rahim revolusi borjuis Eropa dan tumbuh dewasa dalam asuhan penjajahan (lih. Kuper 1996: 114-138; Keesing 1996: 143-185). Sedangkan Marxisme, meskipun dilahirkan oleh ibu yang sama, tapi ia diasuh oleh perlawanan terhadap kodrat menindas kapitalisme. Oleh karena itulah, ketika antropologi menjadi pemandu para penjajah menegakkan kebenaran nilai-nilai kapitalisme ke penjuru dunia, Marxisme justru menjadi pegangan dalam perjuangan-perjuangan melawan pengaruh jahat kapitalisme di mana pun sistem itu mencengkramkan kuku-kuku beracunnya.

Karena pendewasaan yang berseberangan ini, pemikiran Marx tentang masyarakat pernah (di-)tenggelam(-kan) di tengah arus pelupaan dunia akademik antropologi. Di Indonesia sendiri, jurusan-jurusan antropologi tumbuh berkembang di masa ‘pembangunan’. Sejak kepulangan Profesor Koentjaraningrat dari Yale University, antropologi dikembangkan khusus untuk mengabdi kepada pejuang pembangunan yang berpangkalan di suatu universitas ternama di Jakarta dalam memodernkan bangsa Indonesia agar bisa tinggal landas menuju masyarakat adil dan makmur. Seperti buldozer, antropologi Indonesia bergerak ke berbagai pedalaman membukakan jalur yang akan melapangkan gerak pembangunan ke mana pun kapital ingin mengalir. Seperti teropong, antropologi Indonesia menyediakan pandangan yang bagi awam begitu jauh menjadi dekat. Dikumpulkanlah berbagai etnografi tentang masyarakat-masyarakat yang dianggap penting oleh penguasa.

Seperti antropolog-antropolog Dunia Ketiga lainnya, para antropolog Indonesia pun sibuk mengumpulkan berbagai gambaran tentang masyarakatnya sendiri. Para antropolog yang diongkosi sekolahnya ke luar negeri, selalu saja pulang membawa tesis tentang orang kampungnya sendiri yang salinannya disimpan di Library of Conggres sambil meyakini sepenuh hati netralitas pengetahuan. Di dalam keadaan seperti ini, ada beberapa hal hilang.

Bila bukan haram, pemanfaatan konsep Marx boleh dibilang makruh. Artinya, orang akan berpahala bila meninggalkannya meski tidak akan berdosa bila menggunakannya. Hilmar Farid mengamati lenyapnya konsep ‘kelas’ Marxian dalam daftar konsep-konsep ilmu sosial Indonesia. Konsep kelas kemudian diacak-acak dengan dimasukkannya konsep ‘golongan bawah, golongan menengah, dan golongan atas’ yang kabur rujukan empirisnya. Dengan lenyapnya konsep kelas, pendekatan konflik atas hubungan-hubungan sosial juga lenyap hampir tak tersisa. Konflik-konflik dalam masyarakat dianggap tidak ada dan memang tidak tampak bila konsep-konsep yang bisa membantu peneliti melihatnya tidak begitu dipelajari. Kalau pun konflik dalam masyarakat muncul ke permukaan, dengan segera peristiwa tersebut dianggap hanya sebagai sesuatu yang tidak wajar. Konflik dianggap suatu penyimpangan belaka dari kodrat masyarakat yang ‘tata tentrem kerta raharja”. Ketika teori modernisasi menjadi satu-satunya teori yang sah untuk menganalisis masyarakat Indonesia yang ‘harmonis’—bahkan, menurut Farid, teori modernisasi menjadi ilmu sosial Indonesia itu sendiri—, teori kelasnya Marx terdengar ganjil dan menggelikan (lih. Farid 2006).

Gagasan-gagasan Marx yang lain seperti tentang ragam produksi (mode of production), arti penting faktor ekonomi, analisis ideologi, teori penghisapan ekonomi dan penguasaan politik, atau teori revolusi benar-benar seperti Elang Jawa yang kian langka tergusur pembangunan ke sudut-sudut diskusi sepi dan gelap.

Tentu saja, sebagai teori, gagasan Marx tidak perlu dirawat layaknya berlian tanpa cacat. Ada banyak kritik yang sudah dan terus dibenturkan bahkan sedari pemikirnya masih hidup hingga hari kemarin. Marx bukanlah nabi yang sempurna tapi manusia biasa seperti halnya Clifford Geertz atau Profesor Koentjaraningrat. Meski bagi sebagian orang ia diperlakukan bagai nabi, tapi ia haruslah nabi yang tidak ma’sum. Ia mungkin saja keliru. Gagasannya perlu dibanting-banting ke lantai marmer kritik untuk menguji arti penting dan ketahanannya sehingga bisa dimanfaatkan dalam membangun pemahaman atas persoalan sosial dengan lebih baik. Tetapi, bagaimana kita bisa mengkritiknya bila karya-karya Marx dihukumi najis sehingga tidak boleh disentuh atau justru sebaliknya dianggap kitab suci sehingga dikeramatkan dan tak boleh dikritik. Bagaimana mungkin kita mengajukan kritik terhadap sesuatu yang diperlakukan bagai setan atau wahyu suci yang menakutkan sekaligus tak berwujud?

Ulasan dalam bab-bab sebelumnya menunjukkan bahwa dalam satu sisi gagasan-gagasan Marx memang tampak sangar. Gagasan-gagasan itu mengobrak-abrik pandangan yang berlaku umum dalam masyarakatnya. Misalnya gagasan Marx tentang asal-usul negara dan kepemilikan pribadi. Bagi Marx, negara cuma hasil dari keadaan tataran ekonomi yang tidak sehat dalam suatu babak historis tertentu dalam sejarah masyarakat manusia. Artinya, keberadaan negara merupakan wujud ketakwajaran perkembangan masyarakat. Gagasan ini menggoncang lapisan kemurkaan para pemikir borjuis yang meyakini negara sebagai sesuatu yang sudah wajar adanya. Negara adalah sesuatu yang memang harus ada sebagai perwujudan kebebasan sejati umat manusia.

Selain itu, Marx menunjukkan bahwa kehadiran negara bukanlah dari kesepakatan individu-individu yang mengadakan kontrak sosial demi kesejahteraan bersama. Negara hanyalah perangkat pemaksa kelas penguasa agar terus berkuasa terhadap mereka yang lebih lemah demi menumpuk kepemilikan pribadi. Keberadaan negara menjadikan lembaga kepemilikan pribadi sebagai sesuatu yang ‘normal’; sesuatu yang memang sudah seharusnya begitu.

Gagasan Marx tentang asal-mula negara tidak hanya mengejutkan pemikir borjuis sejamannya. Gagasan ini juga mengagetkan kaum revolusioner sebayanya yang bertujuan merombak negara karena negara dianggap sumber ketidakadilan sosial. Bagi Marx, negara bukanlah sumber sejati ketidakadilan sosial. Negara justru hanya akibat dari tatanan masyarakat yang sakit; masyarakat yang di dalamnya tercabik-cabik kesenjangan kelas bermilik dan kelas tak-berpunya dan adanya penghisapan atas kelas pekerja oleh kelas bermilik tersebut. Dari keterpilahan dan tercabiknya masyarakat oleh perebutan kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan inilah negara muncul. Jadi, gagasan Marx tentang negara memang tampak sangar. Ia menggoncang sisi kanan dan kiri sekaligus; ia meruntuhkan kepercayaan bahwa negara adalah sumber keadilan sejati, sekaligus meluluhkan iman kaum revolusioner bahwa negara adalah sumber ketidakadilan sejati.

Lewat konsep kelasnya, Marx memandang bahwa konflik bukan hanya salah satu bentuk interaksi sosial, tetapi merupakan satu-satunya bentuk interaksi yang hakiki dalam setiap masyarakat berkelas. Keadaan adem ayem merupakan keganjilan belaka karena sebenarnya bara mendekam di relung terdalam kehidupan sosial. Di dunia kontemporer, roh kapitalisme gentayangan dirundung penderitaan karena mengandung kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya sendiri. Karena kodratnya sendiri, kapitalisme sedang mengandung anak di dalam rahim krisis-krisisnya yang akan membunuhnya. Anak durhaka itu dilahirkan oleh kapitalisme tetapi bukan bagian dari ibunya. Dialah kesenjangan kaya-miskin beserta kelas proletarnya yang terpilih. Persis seperti nabi-nabi Israel yang bernubuat, Marx mewartakan akhir dari dunia jahat kapitalisme dan merekahnya seribu tahun kedamaian di bumi sosialisme. Tetapi berbeda dengan pendahulunya, Marx tidak menempatkan seorang suci sebagai pembimbing revolusi, tapi memilih proletar sebagai kelas pendobrak.

Gagasan-gagasan Marx begitu revolusioner. Gagasan-gagasan tersebut tidak hanya membantu borjuis menghantam tatanan masyarakat feodal tetapi juga menyerang masyarakat borjuis yang melahirkannya.

Pada dasarnya, sebagai disiplin ilmiah yang dikembangkan masyarakat borjuis di Jaman Kapital, sejak kemunculannya antropologi sangat revolusioner. Artinya, antropologi merupakan bagian tak-terpisah dari gelombang besar revolusi-revolusi sosial di Eropa. Antropologi merupakan salah satu senjata borjuis dalam upayanya meruntuhkan gambaran dunia feodal yang didominasi pandangan keagamaan. Antropologi merupakan meriam panas yang meluluhkan gagasan feodal tentang masyarakat dan kebudayaan sebagai sesuatu yang ajeg dan sudah sedemikian adanya dalam suratan tangan Tuhan. Sebagai misal, gagasan Sir Henry Maine, seorang pelopor teori antropologi hukum, tentang evolusi hukum. Dalam bukunya the Ancient Law (1861), Maine mengajukan gagasan bahwa hukum mengalami evolusi yang geraknya dari tingkat rendah menuju ke tingkat lebih tinggi. Derajat kedudukan hukum dalam masyarakar-masyarakat dikategorikannya ke dalam dua pilahan, yaitu hukum yang berdasarkan hubungan-hubungan status seperti yang dipraktekkan masyarakat primitif hingga feodal dan hukum berdasarkan hubungan-hubungan kontrak yang menjadi landasan masyarakat borjuis. Perkembangan dari tatanan hukum status ke hukum kontrak tidak terelakkan sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial pada umumnya. Dengan demikian, tatanan hukum peninggalan feodalisme, seperti penentuan kedudukan seseorang berdasarkan keturunan, haruslah ditanggalkan dan masyarakat musti berpaling ke hukum modern yang menghargai kebebasan individu-individu dan menempatkan individu dalam kedudukan sosial berdasarkan pencapaian-pencapaian perseorangannya. Tidakkah gagasan leluhur antropologi ini begitu revolusioner? Sangat. Di satu sisi ia menempatkan hubungan status sebagai landasan hukum yang ketinggalan jaman dan pasti akan tenggelam dihantam perubahan niscaya, dan dengan begitu Maine menghantam kedudukan kaum bangsawan beserta sisa-sisanya, di sisi lain Maine juga menyediakan pembenaran ‘ilmiah’ untuk tatanan hukum borjuis yang berlandaskan hubungan kontrak antarindividu-individu yang setara.

Gagasan bahwa pengetahuan selalu berpihak pada kepentingan-kepentingan yang bertarung dalam masyarakat sudah demikian canggih dipertegas Karl Mannheim. Dengan kacamata sosiologi pengetahuan tampaklah bahwa antropologi kontemporer, seperti halnya ekonomi-politik yang dihadapi Marx semasa karir revolusionernya, bukanlah ilmu netral yang sepenuhnya dibangun demi memahami masyarakat dan kebudayaan betul-betul untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya. Ilmu ini secara historis terbangun di tengah-tengah pertarungan habis-habisan antara sisa-sisa pandangan dunia feodal dengan kekuatan baru borjuis yang dimulai dari tepian Laut Tengah Italia dengan Renaisansnya dan dari Paris dengan gerekan Pencerahan Akal Budinya. Sebagai kekuatan baru yang sedang menumbangkan kekuatan-kekuatan lama yang loyo, borjuis tidak hanya menghantam tatanan politik dan ekonomi feodal yang ledakannya memuncak pada Revolusi Perancis 1789 dan Revolusi Industri di Inggris. Borjuis juga memberangus ideologinya. Borjuis membalik semua tatanan lama seperti dengan tapat dilukiskan Marx bahwa dalam revolusi borjuis, “Semua yang padat melebur ke dalam udara, semua yang suci diduniawikan...” (Marx & Engels 2004: 12).

Antropologi merupakan salah satu asam yang mampu melelehkan kepadatan pandangan dunia feodal yang berpusat pada Tuhan dan menggantikannya dengan pandangan dunia yang berpusat pada manusia. Antropologi menyusun kerangka fosil-fosil dari Australophitecus Afarensis hingga Homo Sapiens dan memaklumkan perkembangan evolutif manusia dari dunia binatang berjuta tahun lamanya. Antropologi juga menyusun entografi-etnografi yang memungkinkan penciptaan teori-teori tentang asal-usul agama dan kepercayaan, asal-mula keluarga dan perkawinan, asal-usul dan perilaku negara, dan sebagainya. Bila dalam masyarakat feodal segala sesuatu dianggap berasal-usul dari kekuatan Ilahiah, maka dalam masyarakat borjuis, dengan bantuan ilmu antropologi, terbukalah cakrawala pengetahuan baru bahwa segalanya berubah dan runutan awalnya akan berujung bukan dari kekuatan Ilahiah, tapi kekuatan manusia.

Untuk melanggengkan tatanan kapitalisme, masyarakat borjuis tidak hanya butuh pembentukan ulang pekerja-pekerja upahan dan peningkatan kekuatan produktif. Karena manusia memahami dunia dan bertindak terhadapnya melalui konsep-konsep dan teori-teori, borjuis juga wajib menghasilkan dan membentuk ulang terus-menerus disertai pengingkatan derajat kecanggihan yang kian tinggi konsep-konsep dan teori yang mendukung tatanannya. Dalam sejarah teori antropologi, para pelajar tentu tak kesulitan menyaksikan menyembulnya kepentingan ekonomi-politik dari dalam teori-teori yang berseliweran beradu kekuatan di belantara ilmu.

Konsep bisa sangat politis. Misalnya saja di dalam hampir semua buku ajar sejarah di Indonesia, penjarah kekayaan Nusantara sejak abad ke-17 hingga abad ke-20 adalah ‘bangsa penjajah’, Belanda. Nyatanya, VOC, meskipun bertanggung jawab pada parlemen negeri Belanda, VOC bukanlah perwujudan kepentingan suatu ‘bangsa’, tapi kepentingan kapitalis-kapitalis yang kebetulan berkantor dan bekerja sama dengan pemerintah di negeri Belanda. VOC jelas-jelas adalah perusahaan saham gabungan (perseroan) yang pengerukan keuntungannya bertanggung jawab kepada para pemegang saham. Dengan lain kata, VOC adalah nenek moyang korporasi-korporasi. Mereka mengeruk kekayaan dunia dengan berpegang pada satu-satunya norma, yaitu meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.

Konsep ‘penjajah Belanda’ mengaburkan kenyataan sebenarnya bahwa yang menjajah dan menghisap kekayaan alam Nusantara adalah kapitalis-kapitalis baik kapitalis dari negeri Belanda maupun kapitalis dari negeri sendiri. Sebagai contoh, Mangkunegara IV bukanlah bangsa Belanda tapi bangsawan sekaligus kapitalis pribumi yang mengelola kapital dalam perkebunan dan pabrik gula di bawah perlindungan prajurit-prajurit kompeni menghisapi keringat pekerja-pekerja Jawa dan menyumbang pemasukan bagi pemerintah negeri Belanda sejumlah 664.500.000 gulden pada 1877.

Dalam kapitalisme, persoalan latar belakang kebangsaan tidak begitu penting selama tidak mengganggu perampokan yang sedang diperbuat. Persaingan Inggris dan Belanda di Aceh yang digambarkan sejarawan Anthony Reid, misalnya, bukanlah persaingan antarbangsa, tapi persaingan antarperseroan dagang memperebutkan komoditi-komoditi penting. Memang, sebagai komuniti terbayangkan, ‘bangsa’ sering dimanfaatkan kapitalis demi keuntungannya (misalnya untuk menggugah semangat para kelasi). Persis seperti yang dilakukan Cecil Rhodes, kapitalis raksasa Inggris, di hadapan parlemen Inggris ketika meyakinkan sahnya penjajahan Inggris atas Asia dan Afrika demi menghindari ‘perang saudara’ di dalam negeri.

Bagi Marx berteori itu politis. Praxis merupakan ruh pemikiran Marx. Seperti halnya Marx menggunakan ekonomi-politik borjuis untuk menyusun kritik terhadap kapitalisme, begitu pula kita bisa menjadikan antropologi sebagai senjata kritik terhadap tatanan sosio-kultural kapitalisme dan kritik diri atas kecenderungan ilmu sosial yang ikut melanggengkan tatanan tersebut.

Di dalam esainya The Marxism of Rosa Luxemburg, Georg Lukács menyatakan bahwa perbedaan mendasar antara pemikiran Marx dan pemikiran borjuis bukan terletak pada pengutamaan aspek ekonomi dalam menjelaskan masyarakat dan sejarahnya, tapi sudut pandang totalitasnya (Lukács 1990: 27). Totalitas atau sudut pandang yang mengutamakan kesaling-kaitan antarunsur, antaraspek, dan antarwaktu dalam satu kesatuan kehidupan sosial yang senantiasa berubah secara dialektis merupakan metoda utama Marx. Dari titik inilah kiranya antropologi bisa meraih kembali hakikatnya sebagai ilmu tentang umat manusia setelah sekian lama dikungkung fungsionalisme yang melepaskan kacamata historis dari antropologi. Mengikuti kritik Marx terhadap ahli-ahli ekonomi borjuis, dalam kasus fungsionalisme, para ahli teori ini begitu canggih menjelaskan bagaimana berbagai pola hubungan sosial bekerja dalam suatu masyarakat, tetapi mereka tidak menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan sosial ini tercipta; fungsionalisme tidak bicara tentang bagaimana ‘pergerakan historis’ melahirkan hubungan-hubungan sosial ini (ibidiem). Padahal, lewat penelusuran asal-usul hubungan sosial inilah bisa ditemukan sumber-sumber asali cacat-cacat masyarakat terutama praktek penghisapan manusia atas manusianya.

Kehidupan sehari-hari dilandasi kesadaran praktis yang memandu pikiran dan tindakan orang untuk berbuat secara wajar sesuai tuntunan masyarakat. Lewat berbagai konsep, orang per orang memahami diri dan dunia sekitarnya. Tampakan dunia ke dalam kesadaran ini, karena diperantarai konsep-konsep, tidak selalu sama dengan kenyataannya. Kesenjangan antara tampakan dan kenyataan dimungkinkan oleh adanya ideologi. Ideologi menyediakan konsep-konsep yang memelintir kenyataan sedemikian rupa sehingga kenyataan yang tampil ke hadapan kesadaran sudah beralih rupa.

Terpilahnya masyarakat ke dalam borjuis dan proletar, misalnya, dipandang (secara keliru) oleh banyak orang sebagai takdir ilahi atau, dalam kerangka pikir teori fungsionalisme, sebagai fungsi yang sudah begitu adanya demi kelangsungan masyarakat. Bagi fungsionalisme, keberadaan kaum pekerja miskin yang luntang-lantung mengemis pekerjaan memang sudah seharusnya. Adanya lapisan sosial ini berguna sebagai cadangan tenaga kerja yang siap sedia diperas kapitalis atau untuk mengerjakan pekerjaan hina yang dibutuhkan masyarakat borjuis seperti pembersih WC, pemulung sampah, pelacur, penagih utang, preman penjaga toko, dan sebagainya. Tanpa orang-orang miskin yang terusir baik dari lahan pertanian maupun dari pabrik-pabrik yang bangkrut karena persaingan antarkapitalis, maka kotoran-kotoran masyarakat borjuis tidak akan ada yang membersihkan.

Konsep ‘takdir’ atau ‘fungsi’ sama-sama mengelabui orang dari kenyataan bahwa tidak sejak jaman asalinya masyarakat terpilah ke dalam lapisan-lapisan yang timpang dalam penguasaan alat produksi dan kekayaan. Pengelabuan ini dibantu perangkat-perangkat ideologis yang bekerja serupa mesin penyempot hama. Air dan pestisida dicampur, lalu disemprotkan ke khalayak awam agar hama-hama kritik dan perlawanan dimatikan. Siapa penyemprot hama ini? Dalam pemikiran Althusser, mereka adalah pelaku-pelaku drama yang berada di dalam persekutuan keagamaan, media massa, keluarga, sekolah, pengadilan, dan kawan-kawan yang disebutnya sebagai Aparat Ideologis Negara.

Kerjaan para ideolog ini, kapan pun dan di mana pun, sama. Di sadari atau tidak mereka menjadi mesin pencipta tabir yang menghalangi pandangan orang dari kenyataan (termasuk dari pandangan mereka sendiri). Para ideolog di masa feodal menyebarluaskan pandangan bahwa dunia dan segala isinya sudah ditata sedemikian rupa oleh Tuhan ke dalam lapisan-lapisan sosial bertingkat demi kemaslahatan manusia seluruhnya. Tingkatan masyarakat merupakan cerminan tingkatan di Langit. Kemiskinan dan penderitaan para hamba dan budak dianggap hukuman atau cobaan yang datangnya dari Tuhan. Penindasan-penindasan tuan tanah merupakan ujian bagi kesabaran dan kepasrahan akan hidup yang nista. Di dalam masyarakat yang mengagungkan kerohanian, kedudukan tinggi diberikan kepada rohaniwan karena dianggap sebagai wakil-wakil Tuhan di bumi. Bila seorang rohaniwan yang menguasai berpuluh-puluh biara dan gereja datang menghadap seorang bangsawan, layak kiranya bangsawan itu menyambutnya dengan dikawal para ksatrianya. Sebaliknya, bila seorang petani-hamba hendak mengeluh soal pajak yang terlalu menyekik, pantas kiranya seorang prajurit tombak menghadangnya. Semuanya dianggap wajar dan dibuat sedemikian wajar adanya. Upaya mengubah tatanan ini dianggap menantang kehendak Tuhan dan dengan demikian dihukumi sebagai tidak beriman.

Para aparat ideologi borjuis bertindak tak jauh beda dengan rekan-rekan feodal mereka. Ilmuwan-ilmuwan sosial berlomba-lomba meyakinkan bahwa kodrat kehidupan sosial memanglah seperti sekarang adanya. Pemilahan masyarakat ke dalam kelas-kelas dikaitkan dengan fungsi sosial yang niscaya di dalam semua masyarakat sejak manusia itu sendiri ada. Kemiskinan dan penderitaan kelas pekerja di Dunia Ketiga dipandang sebagai karma kemalasan, kebodohan, atau tidak inovatifnya mereka. Di dalam masyarakat yang mengagungkan kepemilikan pribadi, kapitalis-kapitalis penganggur yang kekayaan pribadinya bisa lebih besar dari pendapatan nasional sebuah negara di Afrika menduduki kursi tertinggi penghormatan. Bila seorang kapitalis hendak berjumpa presiden, layak kiranya bila presiden beserta beberapa menteri utamanya datang menyambut. Sebaliknya bila seorang kuli pabrik hendak bertemu untuk mengeluh soal tunjangan kesehatan, pantas kiranya seorang kopral datang menghardiknya. Semuanya dianggap wajar dan dibuat sedemikian wajar adanya. Semua upaya menyangkal untuk mengubah keadaan ini dianggap sebagai penentangan terhadap kodrat sosial manusia dan dengan demikian dicap sebagai tidak ilmiah.

Jadi, sekali lagi, berteori tidak pernah suci dari dosa seperti yang selama ini diyakini penuh iman orang-orang sekolahan. Berteori berarti berpihak. Teori sosial adalah wilayah pertarungan. Tapi, antropolog marxis tidak harus terjerumus ke dalam penyakit Hegelian Muda yang menganggap mengubah teori akan mengubah keadaan. Tidak. Teori bukan tujuan penghantaman. Teori hanya alat dan pertarungan teoritis sekadar jalan menuju kritik asali, yaitu kritik terhadap tatanan masyarakat tempat teori itu tumbuh.
Seperti nabi-nabi Israel, Marx bernubuat soal akhir kapitalisme. Globalisasi mula-mula melangkah lamban digerakkan kapal-kapal dagang para saudagar petualang di abad ke-15. Kini ia telah melaju cepat memampatkan ruang dan waktu sehingga skala segala hal mengecil. Pasar dunia dan kolonisasi diramalkan Marx akan berujung pada penguasaan sumber daya bumi oleh dan untuk kemaslahatan segelintir orang saja. Hukum besi akumulasi kapital dan kutukan peningkatan kekuatan produktif telah pula diramalkan Marx akan berujung pada penyingkiran semakin dan semakin banyak orang dari produksi kekayaan. Pengangguran menjadi fenomena global, kebrutalan undang-undang perburuhan bukan hanya mimpi buruk pekerja Menchester abad ke-19, tapi juga bagi pekerja-pekerja di seluruh penjuru bumi saat ini. Globalisasi tidak hanya mengantar kapital ke mana pun keuntungan sebesar-besarnya bisa ditangguk. Globalisasi juga mengirim wabah pengangguran, kemiskinan, kejahatan, dan penistaan terhadap manusia ke mana pun kapital menjarah.

Peningkatan produktivitas berskala dunia telah demikian luar biasa. Teknologi telah begitu berkembangnya sehingga bisa menjadikan kegiatan manusia bisa jauh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih banyak menghasilkan apa pun. Namun, perkembangan kekuatan produktif serta kapital di tingkat dunia ini tidak berada untuk menjadi kebaikan bagi sekalian umat manusia, tapi hanya menjadi rahmat bagi segelintir kapitalis yang menguasainya. Kenyataan ini sama sekali bukan takdir ilahiah. Kesenjangan kepemilikan ini ciptaan manusia dalam dalam wujudnya sebagai masyarakat yang sakit.
Para ilmuwan sosial dan filsuf borjuis dengan tenang berteori bahwa sudah kodrat manusia itu serakah dan ingin menang sendiri tanpa terpikir akibat teori ini dalam kehidupan manusia. Kesenjangan sosial ekonomi dianggap sebagai hal lumrah dan sebagai suatu sistem sosial. Masyarakat dipandang mempunyai fungsi-fungsi untuk semua hal yang ada di dalamnya, termasuk kemiskinan sebagian besar dan kelimpahan sebagian sangat kecil anggotanya. Antropologi (dan arkeologi) menampiknya. Ketimpangan sosial-ekonomi merupakan penyakit. Penyakit dalam masyarakat berkelas. Ketimpangan ini sama sekali bukan kodrat asali kehidupan sosial manusia. Justru, seperti ditegaskan Richard Leakey, ahli arkeologi ternama dari keluarga penemu Leakey, kodrat asali yang memisahkan manusia dengan spesies anthropoid sebelumnya adalah kerja sama dan pembagian perolehan makanan (Leakey 2003, lih. juga Engels 1981).

Di dalam masyarakat tak berkelas seperti pemburu-peramu !Kung San yang hidup di Gurun Kalahari Afrika, kesenjangan tercegah lewat ritual mencemooh daging. Ketika ada anggota suku yang berhasil memperoleh buruan dan membawanya ke kelompok untuk dibagikan, si pemburu itu tidak boleh merasa tinggi hati dan bisa menganggap dirinya sebagai pemimpin. Untuk itu, kawan-kawan sesuku mencemooh perolehannya ketika daging buruan dibagikan. Pembagiannya pun tidak berdasarkan perolehan, tetapi berdasarkan kebutuhan. Bagi yang masih bujangan jatahnya akan lebih sedikit daripada untuk rekannya yang sudah beranak tiga, meski pun si bujangan itu yang berburu paling giat. Inti pokok tradisi ini adalah pemeliharaan kesetaraan dan kerja sama antaranggota suku seluruhnya. Pembagian kerja dalam masyarakat sederhana ini tidak memilah berdasar derajat tinggi-rendah tapi berdasar kemampuan dan kebutuhan. Semua orang menyumbang sesuai kemampuannya dan setiap orang memperoleh sesuai kebutuhannya.

Dalam masyarakat kontemporer, ketimpangan tumbuh dari dalam jantung kapitalisme yang memompa darah penindasan dan penghisapan manusia atas manusia ke semua urat nadi masyarakat.

Untuk melanggengkan teori tentang ketimpangan wajarnya, ideolog borjuis juga menggagas kebebasan individual di muka hukum sebagai penemuan tertinggi kemanusiaan. Dengan penuh semangat, mereka meneriakkan kebebasan individual yang naif sambil pura-pura lupa bahwa di dalam kehidupan nyata prakteknya tidaklah ada kebebasan seperti itu. Seperti ideolog feodal yang menggembar-gemborkan bahwa kodrat manusia itu ilahi dan sibuk dengan urusan duniawi adalah kesibukan hina, begitu pula para ideolog borjuis meneriakkan bahwa kodrat manusia itu individual dan bebas dan sibuk mengkhotbahkan kesosialan manusia adalah kesibukan omong kosong. Tidak ada masyarakat selain kumpulan individu-individu. Semua individu ini setara di muka hukum. Kesetaraan ini untuk menampung kodrat manusia yang individual. Padahal kesetaraan hukum tiada lain adalah “kesetaraan megah dalam hukum yang melarang semua orang tidak peduli kaya atau miskin, untuk tidur di kolong jembatan, untuk mengemis di jalanan, dan untuk mencuri roti” (dikutip Wood dan Grant 2005: 534).

Konsekuensi teori kebebasan individual adalah bahwa mereka-mereka yang tertinggal, miskin, bodoh, jahat, dan kumal menjadi demikian karena pilihan mereka sendiri. Dalih para ideolog bahwa semua orang bebas dan dibebaskan untuk melakukan apa pun sebenarnya menutupi kenyataan bahwa tidak semua orang dalam tatanan kapitalis itu bebas. Kaum pekerja sama sekali tidak bebas untuk bekerja atau tidak bekerja kepada kapitalis. Pekerja-pekerja miskin juga tidak bebas menentukan upah yang akan diperolehnya. Mereka harus berjuang sekuat tenaga—dan biasanya perjuangan ini tidak selamanya berhasil—untuk memperoleh upah yang lebih baik. Mereka tidak bebas untuk bebas.

Anak-anak dari keluarga pekerja miskin juga tidak bebas untuk memilih sekolah atau tidak. Bahkan anak-anak dari keluarga kelas menengah pun tidak bebas untuk mempelajari apa yang ingin dipelajarinya. Lembaga pendidikan menjadi alat kepentingan kapitalis semata yang tiada bedanya dengan pabrik. Di dalam pabrik-pabrik itu kapitalis menentukan ‘produk’ apa yang harus dihasilkan. Tentu saja yang diharapkan adalah calon pekerja yang mempunyai ‘kualifikasi’ sesuai dengan kebutuhan usaha kapitalis. Bukan hanya keterampilan atau pengetahuannya saja yang disesuaikan, tapi juga ‘kepala’ mereka di sesuaikan dengan isi kepala kapitalis. Kapitalis butuh kondisi kerja yang damai; yang bebas dari interupsi. Calon-calon pekerja ini mustilah yang penurut dan ‘berani’ bekerja keras tanpa tunjangan memadai. Dengan penuh pengabdian, para pendidik yang tiada lain adalah, sadar atau pun tidak, mesin penghasil nilai-guna bernama keterampilan dan ilmu pengetahuan mencurahkan segala kemampuannya untuk menghasilkan lulusan yang tersambung ke dunia kerja kapitalis (link and match).

Inikah kebebasan? Inikah masyarakat yang sehat?

Marx dengan tegas menyatakan tidak. Kemajuan tertinggi kebudayaan kapitalis sekaligus kejahatan terbesarnya terhadap kemanusiaan adalah menjadikan manusia sekadar komoditi. Seperti halnya komoditi lain, manusia diukur nilainya berdasarkan nilai-tukarnya dalam pasar tenaga kerja yang diperantarai uang yang tiada lain adalah perwujudan nilai sosial tertinggi kebudayaan kapitalisme. Seperti juga komoditi lain, manusia akan dibuang bila nilai-gunanya habis. Jangan pernah heran bila SLB tidak sebanyak Jurusan Akuntansi jumlahnya. Kenyataan ini bukan karena jumlah penderita cacat sedikit dan peminat Akuntansi banyak. Sedikit atau banyak hanya persoalan perhatian dan keberpihakan, bukan statistik. Minat masuk jurusan akuntansi, manajemen, teknik informatika, atau hukum bukan merupakan pilihan bebas calon mahasiswa. Jurusan-jurusan tersebut terpilih karena pasar tenaga kerja memang membutuhkannya (Silahkan buka lembar-lembar koran nasional setiap hari Sabtu).

Ditinggalkannya studi klasik, filologi, atau arkeologi oleh calon mahasiswa bukan karena semua jurusan yang di masa lalu begitu terhormat tidak berguna secara hakiki. Hakikat kegunaan ditentukan oleh kebutuhan gerak ekonomi dan kebudayaan kapitalisme. Karena yang hakiki dalam kapitalisme hanyalah perolehan untung sebesar-besar dalam waktu secepat-cepatnya, maka tidak ada yang hakiki di luar nilai itu.

Sebagai ilmu yang pernah menjadi senjata ampuh membantu borjuis meruntuhkan feodalisme, kiranya antropologi juga mampu menjadi senjata yang bisa untuk memberangus tuannya sendiri. Namun, seperti halnya para antropolog yang berkarya di masa penjajahan kapitalis Eropa atas Asia-Afrika, antropolog-antropolog kontemporer pun tidak bebas dari medan tarik-menarik kepentingan ekonomi politik.

Perang Dingin memang usai. Uni Soviet bangkrut dan Republik Federasi Rusia menjadi bagian dari dunia kapitalis sepenuhnya. Tetapi ini bukan berarti kontradiksi lenyap dan perjuangan kapitalisme selesai. Menurut Francis Fukuyama, ideolog kapitalisme ternama, demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas merupakan pencapaian tertinggi sejarah manusia. Sejarah sudah selesai. Tidak akan ada lagi pencapaian lain yang melampaui keduanya. Seperti kaum Hegelian Tua yang menyatakan bahwa ‘yang riil adalah yang rasional’ dan menyatakan bahwa pencapaian bentuk negara hukum dan protestanisme merupakan perwujudan tertinggi Kesatuan Rasio dan Kenyataan, maka begitu pula pandangan para ideolog borjuis kontemporer. Yang harus dilakukan hanyalah menyesuaikan praktek-praktek ‘tidak demokratis’ dan ‘tidak bebas’ kembali ke ‘jalan yang benar’. Kapitalisme adalah satu-satunya jalan yang benar dan demokrasi liberal satu-satunya cara mencapainya. Kapitalisme global sedang berjuang mencapai kesatuan antara gagasan dan kenyataan ini.

Perang Dingin sudah usai, tapi kapitalisme yang sedang menua belum lelah meletuskan perang-perang yang jauh lebih brutal dari Perang Dingin. Di negara-negara kapitalis maju sendiri pada dasawarsa 1990-an 22 juta pengangguran antri menunggu mati dalam kemiskinan, 20 persen penduduk miskin terjebak di dalam kampung-kampung kumuh, dan bayang-bayang krisis siap menerkam kapan pun ekonomi spekulasi meliar ke titik terliarnya. Di Dunia Ketiga, pekerja anak memasuk pabrik-pabrik seperti budak Negro memasuki perkebunan tebu Karibia. Para pekerja miskin menanggung kerja rodi dengan upah yang hanya cukup untuk mengganjal perut keluarganya sehingga bisa tetap hidup menyaksikan tubuhnya sendiri menua dan suatu hari nanti didepak dari pabrik tanpa tunjangan. Pencabutan subsidi kesehatan, pupuk, bahan bakar minyak, dan biaya pendidikan; pengurangan jaminan sosial negara dan diserahkannya lembaga-lembaga jaminan sosial ke tangan bank-bank atau perusahaan asuransi swasta bukan hanya gejala yang muncul di Indonesia. Negara kesejahteraan pasca Perang Dunia II di mana pun sedang sekarat digerogoti upaya ‘penyatuan gagasan pasar bebas sempurna dan kenyataannya’.

Di manakah kedudukan antropolog-antropolog dalam riuh-rendah perjuangan kapitalisme ini? Apakah antropolog akan kembali menjadi bagian darinya seperti yang dilakukannya di kala kapitalis-kapitalis Eropa menghisapi negeri-negeri jajahan sekering-keringnya? Ataukah bertobat menebus dosa masa lalu dengan berpihak kepada golongan tertindas?

Daftar Pustaka

Engels, Frederick (1981) The Part Played by Labour in Transition from Ape to Man, lampiran dalam F. Engels. The Origin of Family, Private Property and the State. London: Lawrence & Wishart.
Farid, Hilmar (2006) Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia, dalam V.R. Hadiz & D. Dakhidae (ed.) Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia, h. 187-217.
Keesing, R.M. (1996) Antropologi Budaya. Jakarta: Erlangga.
Kuper, Adam (1996) Pokok dan Tokoh Antropologi Mashab Inggris Modern. Jakarta Bhratara.
Leakey, Richard (2003) Asal-usul Manusia. Jakarta: KPG.
Lukács, Georg (1990) History and Class Consciousness (cet. XII). Massachusetts:The MIT Press.
Marx, Karl & Frederick Engels (2004) The Communist Manifesto. New York: International Publisher.
Woods, Alan & Ted Grant (2005) Reason in Revolt. Yogyakarta: IRE Press.

sumber

Kamis, 10 September 2009

teori sosiologi di inet...

setelah berselancar bebas akhirnya ketemu juga pdf yang berisi materi-materi kuliah sosiologi...
yang pengen download pdf sosiologi silakan klik di sini

Sabtu, 25 April 2009

A. JUDUL

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM P2KP/PNPM MANDIRI DI KELURAHAN SUMURBOTO KECAMATAN BANYUMANIK KOTA SEMARANG

B. LATAR BELAKANG

Salah satu permasalahan terbesar dalam kehidupan suatu negara adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan tolak ukur bagi sebuah negara apakah pembangunan yang tengah berlangsung dapat dinikmati oleh segenap warga negaranya tanpa memandang hal-hal yang bersifat atributif. Dengan kata lain, pembangunan yang berlangsung benar-benar merata dalam masyarakat.

Kemiskinan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, karena kemiskinan merupakan akibat dari tidak tercapainya pembangunan ekonomi yang berlangsung dalam suatu negara.

Secara umum kemiskinan lazim didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menuju kehidupan yang sejahtera. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang saling berkaitan. Antara lain adalah tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan.

Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah perkotaaan sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat melalui ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin yang terdapat di perkotaan. Ciri umum dari kondisi fisik itu adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, serta mata pencaharian yang tidak menentu. Keadaan demikian semakin melemahkan nilai-nilai kapital sosial yang ada dalam masyarakat. Lemahnya nilai-nilai kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalan secara bersama.

Perekonomian yang buruk cenderung untuk mempercepat rusaknya gedung-gedung dan berbagai sarana transportasi serta komunikasi. Sebaliknya, fasilitas pendidikan yang memadai, gizi yang bermutu, dan hiburan yang sehat mendorong kecerdasan penduduk dan prestasi kerja. (Daldjoeni, 1985:46)

Kemiskinan yang selama ini sebenarnya terjadi adalah meluasnya kesenjangan sosial akibat dari hilangnya keadilan dan kesejahteraan, serta sempitnya kesempatan berbuat untuk lebih baik karena merosotnya nilai-nilai kejujuran. Di Indonesia, kemiskinan memiliki karakter yang sangat rentan dengan ketidakberdayaan membangun perekonomian, kesehatan dan pendidikan.

Selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan saja, yang mencakup multidimensi, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Orientasi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan ini, pada dasarnya mencerminkan pendekatan program yang bersifat parsial, sektoral, charity dan tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya program-program dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat yang pada akhirnya tidak akan mampu mewujudkan aspek keberlanjutan (sustainability) dari program-program penanggulangan kemiskinan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi dari gejala-gejala kemiskinan tersebut muncul dalam berbagai bentuk, antara lain :

1) Dimensi Politik , sering muncul dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga masyarakat miskin benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri masyarakat itu sendiri. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi;

2) Dimensi Sosial sering muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak kualitas manusia dan etos kerja mereka, serta pudarnya nilai-nilai kapital sosial;

3) Dimensi Lingkungan sering muncul dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman;

4) Dimensi Ekonomi muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sampai batas yang layak; dan

5) Dimensi Aset, ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan, dan sebagainya. (Rahadi, 2005:1)

Karakteristik kemiskinan seperti tersebut di atas dan krisis ekonomi yang terjadi telah menyadarkan semua pihak, bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun organisasi masyarakat warga yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman.

Pada era modern seperti sekarang ini, identifikasi kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan sulit untuk dientaskan. Di antaranya adalah: Pertama, akses media informasi masih didominasi oleh dunia hiburan yang merusak cara berpikir mayarakat, dibandingkan dengan informasi ekonomi. Mayoritas orang miskin haus akan hiburan, sehingga mereka lebih menyukai hiburan ketimbang berkreasi dalam mewujudkan kelayakan hidupnya. Kedua, ketidakmampuan menempatkan informasi yang berkembang. Yakni, informasi yang mengarah pada merosotnya nilai-nilai kewibawaan pemerintah, sehingga ketika bantuan yang bersifat pinjaman kredit seperti yang telah diterapkan oleh pemerintah seperti dalam program KUT, masyarakat enggan untuk mengembalikan karena masyarakat tahu bahwa banyak pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi. Dari sini, informasi telah melemah. Sebagian masyarakat kemudian mengesampingkan program-program pengentasan kemiskinan. Ketiga, gaya hidup mewah yang tidak seimbang. Masyarakat miskin rata-rata tidak mampu menilai kebutuhannya. Mereka tidak dapat membedakan kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya. Keempat, orang miskin cenderung menekuni pekerjaan yang bersifat stagnan, tidak berkembang dan tidak ada jenjang karier, seperti menjadi kuli bangunan, buruh, atau jadi pembantu rumah tangga.

Dari berbagai permasalahan kemiskinan tersebut muncullah berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, melalui program-program pemerintah. Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi pada hal-hal yang bersifat material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas (akses terhadap sarana dan prasarana pembangunan) dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.

Selama ini pembangunan masyarakat telah dilaksanakan secara luas, tetapi hasilnya dianggap belum memuaskan bila dilihat dari pelibatan peran serta masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan penentuan program pembangunan oleh masyarakat yang bersangkutan merupakan bentuk perencanaan dari bawah atau sering disebut dengan istilah bottom-up planning. Program-program pembangunan yang telah direncanakan hendaknya sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya, dan tidak memberatkan masyarakat. Oleh karena itu rencana pembangunan daerah harus disusun berdasarkan pada potensi yang dimiliki serta kondisi yang ada saat ini. Potensi dan kondisi yang ada itu, meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, sarana dan prasarana pembangunan, teknologi, kelembagaan, aspirasi masyarakat setempat, dan lain-lainnya. Pelibatan masyarakat dalam menentukan program pembangunan merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pemberdayaan masyarakat secara nyata dan terarah.

Anggota masyarakat bukan hanya obyek pembangunan semata, tetapi juga merupakan subyek pembangunan. Kedudukan sebagai subyek pembangunan berarti anggota masyarakat hendaknya memiliki kemauan, kemampuan, kesediaan, kesadaran, motifasi, kerjasama, dan wawasan yang kuat dan melekat pada diri anggota masyarakat terhadap pembangunan.

Kedudukan anggota masyarakat tersebut dapat diartikan pula bahwa anggota masyarakat harus diajak untuk berperan secara lebih aktif, didorong untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat, baik dalam menyusun perencanaan maupun dalam implementasi proyek/program pembangunan.

Anggota masyarakat diajak untuk berperanserta dan didorong untuk berpartisipasi dengan pertimbangan bahwa anggota masyarakat dianggap (a) mengetehui sepenuhnya tentang permasalahan dan kepentingannya/kebutuhan masyarakat itu sendiri; (b) memahami sesungguhnya tentang keadaan lingkungaan social dan ekonomi masyarakatnya; (c) mampu menganalisis sebab dan akibat dari berbagai kejadian di masyarakat; (d) mampu merumuskan solusi untuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi; (e) mampu memanfaatkan sumberdaya pembangunan (SDA, SDM, dana, sarana, dan teknologi) yang dimiliki untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan masyarakatnya yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat; (f) anggota masyarakat dengan upaya meningkatkan kemauan dan kemampuan SDM-nya sehingga dengan berlandaskan pada kepercayaan diri dan keswadayaaan yang kuat mampu mengurangi dan bahkan menghilangkan sebagian besar ketergantungan terhadap pihak luar.

Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melaui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat dapat ditumbuh kembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan.

Partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan di masyarakat lokal.

Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan merupakan aktualisasi dari ketersediaan dan kemauan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program/proyek yang dilaksanakan.

Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorientasi pada pencapaian hasil pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat secara lebih efektif dan efisien, baik dari (a) aspek masukan atau input (SDM, dana, peralatan/sarana, data, rencana, dan teknologi); (b) dari aspek proses (pelaksanaan, monitoring, dan pengawasan); (c) dari aspek keluaran atau output atau pencapaian sasaran, efektivitas, dan efisiensi (Adisasmita, 2006:38).

Efektivitas diartikan sebagai rasio antara realisasi dengan yang direncanakan. Jika rasio tersebut lebih besar dari satu berarti efektif, dan sebaliknya jika rasio tersebut lebih kecil dari satu berarti tidak efektif. Sedangkan efisiensi dimaksudkan yaitu dapat dilakukan penghematan atau penekanan pemborosan. Dengan demikian biaya produksi per unit dapat ditekan ke bawah. Efisiensi adalah suatu keadaan dimana terdapat penghematan.

Dengan partisipasi masyarakat, perencanaan pembangunan diupayakan menjadi lebih terarah, artinya rencana atau program pembagunan yang disusun itu adalah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Artinya, dalam penyusunan rencana/program pembangunan dilakukan penentuan prioritas (urutan berdasar besar kecilnya tingkat kepentingan), dengan demikian pelaksanaan program pembangunan akan terlaksana pula secara efektif dan efisien.

Dengan penyusunan rencana/program pembangunan secara terarah dan serasi terhadap kebutuhan masyarakat dan pelaksanaaan program pembangunan secara efektif dan efisien berarti distribusi dan alokasi faktor-faktor produksi dapat dilaksanakan secara secara optimal, demikian pula pencapaian sasaran peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat, perluasan lapangan kerja atau pengurangan pengangguran, berkembangnya kegiatan lokal baru, peningkatan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, peningkatan keswadayaan dan partisipasi masyarakat akan terwujud secara optimal pula.

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan salah satu langkah pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dengan melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin. P2KP dimulai pada tahun 1999. Pada awalnya program tersebut dilaksanakan dalam rangka menanggulangi kemiskinan sebagai akibat dari krisis ekonomi tahun 1997-1998. P2KP merupakan program jangka panjang dalam menanggulangi kemiskinan dan bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan dari tahun ke tahun.

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun "gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan", yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip universal. (Dikutip dari : Buku Pedoman Umum P2KP-3, Edisi Oktober 2005).

Dengan adanya Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), diharapkan permasalahan kemiskinan dapat diatasi dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam program tersebut. Adanya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), merupakan suatu teknik yang dijalankan oleh pemerintah untuk menuju kesuksesan dalam pelaksanaan proram tersebut karena Keberhasilan pembangunan dalam masyarakat tidak selalu ditentukan oleh tersedianya sumberdana keuangan dan manajemen keuangan yang memadai, tetapi banyak juga dipengaruhi oleh peranserta dan respon masyarakat terhadap pembangunan atau dapat disebut partisipasi masyarakat.

Pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri dilaksanakan di seluruh daerah Indonesia tidak terkecuali di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Yang merupakan sebuah kelurahan yang berada di daerah perkotaan Semarang dengan tingkat angka kemiskinan yang cukup tinggi. Dari latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti peran serta masayarakat di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang dengan judul “PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM P2KP/PNPM MANDIRI DI KELURAHAN SUMURBOTO KECAMATAN BANYUMANIK KOTA SEMARANG”.

C. PEMBATASAN MASALAH

Kelurahan Sumurboto merupakan sebuah kelurahan yang terletak di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah. Di kelurahan Sumurboto yang terletak di daerah perkotaan, terdapat berbagai macam permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat, salah satunya adalah kemiskinan yang juga merupakan masalah nasional bangsa Indonesia. Dari permasalahan kemiskinan tersebut, muncullah berbagai upaya penanggulangan kemiskinan. Salah satu diantara usaha penanggulangan kemiskinan tersebut adalah dengan melaksanakan program P2KP/PNPM Mandiri.

Pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri dilaksanakan dengan menggunakan sistem dan pengawasan dari kelurahan dengan mengikutsertakan masyarakat sebagai sasaran dan pelaksana program yang menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksaaan program P2KP/PNPM Mandiri.

Dalam melaksanakan program P2KP/PNPM Mandiri, dukungan partisipasi masyarakat sebagai pencerminan dari terkandungnya semangat kebersamaaan dan kesediaan berkorban untuk keberhasilan pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan potensi kekuatan dan peluang, tetapi sekaligus merupakan tantangan untuk mengaktualisasikannya dalam kegiatan pembangunan secara efektif, positif, produktif, dan dinamis.

Dengan keikutsertaan masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri, kebutuhan masyarakat akan dapat dipenuhi dan tepat sasaran yaitu benar-benar program atau pembangunan yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga, hasil pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri benar-benar berguna dan dapat dinikmati oleh masyarakat pelaksana program.

Dalam penelitian ini peneliti membatasi pada bagaimana pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, bagaimana partsipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri, dan bagaimana tingkat keberhasilan program P2KP/PNPM Mandiri terkait dengan partisipasi masyarakat dalam P2KP/PNPM Mandiri. Partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri merupakan sebuah usaha masyarakat dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dalam program P2KP/PNPM Mandiri, yang bentuk dan kegiatannya tidak diketahui masyarakat secara umum yang tidak melaksanakan program P2KP/PNPM Mandiri.

D. PERMASALAHAN

Berdasarkan dari beberapa uraian singkat diatas maka muncul permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana bentuk pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang?

2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang?

3. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang?

E. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian kali ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

2. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

3. Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

F. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penelitian yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Secara Teoritis

Secara teoritis tujuan penelitian ini bagi pengembangan ilmu sosiologi yang mengkaji permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat. Disamping itu juga sebagai wahana untuk usaha-usaha pengembangan penanggulangan kemiskinan masyarakat tidak hanya pada masyarakat Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

2. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam usaha penanggulangan kemiskinan di perkotaan.

G. PENEGASAN ISTILAH

1. PARTISIPASI

Partisipasi dapat diberi makna, seperti yang dikemukakan oleh Cohen (1980: 214), sebagai keterlibatan sejumlah besar orang dalam situasi-situasi atau tindakan-tindakan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan sosial. Atau hal itu dapat diartikan sebagai sumbangan masyarakat dalam bentuk fisik, materi, dan bukan materi dalam kegiatan pembangunan (Mangkuprawiro, 1987: 10).

Partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan di masyarakat lokal.

2. MASYARAKAT

Masyarakat adalah kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1995:146-147). Dimana masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

3. PROGRAM P2KP/PNPM MANDIRI

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)/PNPM Mandiri merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun "gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan", yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip universal. (Dikutip dari : Buku Pedoman Umum P2KP-3, Edisi Oktober 2005).

H. LANDASAN TEORI

1. PARTISIPASI

Memperhatikan berbagai karakteristik dari strategi pembangunan, maka dalam pelaksanaanya terkandung suatu unsur yang boleh dikatakan mutlak, yaitu partisipasi masyarakat lokal. Sebagaiamana diketahui, pembangunan pada dasarnya proses perubahan yang diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Partisipasai masayarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku tersebut. Dalam hal ini aktivitas lokal merupakan media dan sarana bagi masyarakat dalam melaksanakan partisipasinya. Agar proses pembangunan dapat dapat berlaku secara berkelanjutan, maka perlu diusahakan agar ada kesinambungan dan peningkatan yang bersifat kumulatif dari partisipasi masyarakat melalui berbagai tindakan bersama dan aktivitas lokal tadi.

Menurut Mikkelsen (dalam Soetomo, 2006:438) menginventarisasi makna yang berbeda tentang partispasi yaitu: pertama, partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Kedua, partispasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-proyek pembangunan. Ketiga, partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasanya untuk melakukan hal itu. Keempat, partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan staf dalam melakukan persiapan, pelaksanan, dan monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial. Kelima, partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Partisipasi merupakan keikutsertaan dalam suatu kegiatan. Jadi partisipasi adalah keterlibatan sejumlah besar orang dalam usaha meningkatkan kesejahteraan sosial (Joyomartono 1991:63). Partisipasi sebagai suatu dampak dari sosialisasi di dalam kehidupan bermasyarakat yang membuat individu atau kelompok tertarik untuk melakukan suatu tindakan ataupun terlibat dalam suatu kegiatan di dalam kehidupan bermasyarakat. Partisipasai yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat dalam mensuskseskan pelaksanaan program P2KP/PNPM mandiri.

Soekanto (Kamus Sosiologi 1993) mengemukakan bahwa partisipasi merupakan setiap proses identifikasi atau menjadi peserta suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi social tertentu. Partisipasi yang dimaksud adalah masayarakat memberikan dukungan positif mulai dari perencanaan sampai pada syatu pelaksanaan program. Partisipasi juga diartikan sebagai suatu sikap tanggap masayarakat lokal terhadap anjuran-anjuran, petunjuk-petunjuk tentang cara baru pemakaian teknologi dan memberikan pengorbanan (dalam arti unvestasi), modal, waktu, tenaga, dan uang untuk tercapainya tujuan pembangunan (Abdullah dalam Usman, 1998:54). Cohen dalam Mangkuprawiro (1987:10), mengatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan sejumlah besar orang dalam situasi-situasi atau tindakan-tindakan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan sosial.

Partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan banyak tergantung pada aktifitas tokoh masyarakat (Suwondo dalam Joyomartono, 1991:63-64). Partisipasi aktif segenap lapisan masyarakat dalam suatu pelaksanaan pembangunan, perlu ditingkatkan dan diperluas lapangannya yang meliputi berbagai hal baik itu dalam pertanggungjawaban, pelaksanaan pembangunan maupun dalam menerima hasil pembangunan. Partisipasi aktif masyarakat dalam suatu pelaksanaan pembangunan perlu ditingkatkan untuk memacu pembangunan ekonomi karena peningkatan pembangunan ekonomi memerlukan percepatan perubahan sosiokultural yang terarah (Marzali, 2005:104).

Partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan di masyarakat lokal.

Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan merupakan aktualisasi dari ketersediaan dan kemauan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program/proyek yang dilaksanakan.

Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah karena:

1. Partisipasi merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat.

2. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek/program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.

3. Partisipasi menjadi penting karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan, hal ini dianggap selaras dengan konsep man-centered development atau jenis pembangunan yang lebih diarahkan pada perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar alat pembangunan itu sendiri. (Conyers dalam Suparjan dan Suyatno, 2003:53)

Dimaklumi bahwa dana anggaran pembangunan yang tersedia adalah relatif terbatas sedangkan program/proyek pembangunan yang dibutuhkan (yang telah direncanakan) jumlahnya relatif banyak, maka perlu dilakukan peningkatan partisipasi masyarakat untuk menunjang implementasi pembangunan program/proyek dalam masyarakat.

Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorientasi pada pencapaian hasil pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat secara lebih efektif dan efisien, baik dari (a) aspek masukan atau input (SDM, dana, peralatan/sarana, data, rencana, dan teknologi); (b) dari aspek proses (pelaksanaan, monitoring, dan pengawasan); (c) dari aspek keluaran atau output (pencapaian sasaran, efektivitas, dan efisiensi).

Efektivitas diartikan sebagai rasio antara realisasi dengan yang direncanakan. Jika rasio tersebut lebih besar dari satu berarti efektif, dan sebaliknya jika rasio tersebut lebih kecil dari satu berarti tidak efektif. Sedangkan efisiensi dimaksudkan yaitu dapat dilakukan penghematan atau penekanan pemborosan. Dengan demikian biaya produksi per unit dapat ditekan ke bawah. Efisiensi adalah suatu keadaan dimana terdapat penghematan.

Dengan partisipasi masyarakat, perencanaan pembangunan diupayakan menjadi lebih terarah, artinya rencana atau program pembagunan yang disusun itu adalah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Artinya, dalam penyusunan rencana/program pembangunan dilakukan penentuan prioritas (urutan berdasar besar kecilnya tingkat kepentingan), dengan demikian pelaksanaan program pembangunan akan terlaksana pula secara efektif dan efisien.

Dengan penyusunan rencana/program pembangunan secara terarah dan serasi terhadap kebutuhan masyarakat dan pelaksanaaan program pembangunan secara efektif dan efisien berarti distribusi dan alokasi faktor-faktor produksi dapat dilaksanakan secara secara optimal, demikian pula pencapaian sasaran peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat, perluasan lapangan kerja atau pengurangan pengangguran, berkembangnya kegiatan lokal baru, peningkatan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, peningkatan keswadayaan dan partisipasi masyarakat akan terwujud secara optimal pula.

Partisipasi dalam program P2KP/PNPM Mandiri dibangun untuk menumbuhkan rasa kepedulian dan kepemilikan serta proses belajar melalui kerjasama. Partisipasi dibangun dengan menekankan proses pengambilan keputusan oleh warga, mulai dari ide/gagasan, perencanaan, pengorganisasian, pemupukan sumber daya, pelaksanaan sampai evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti sebagai upaya melibatkan segenap komponen masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang selama ini tidak/kurang memiliki peluang/akses dalam program pembangunan masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan terwujud bila:

a. Program yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan individu-individu dalam masyarakat.

b. individu-individu dalam masyarakat target merasa butuh untuk mengadakan perubahan.

c. individu-individu di dalam masyarakat sasaran itu mendapat informasi yang jelas mengenai bagaimana cara melakukan perubahan atau pembangunan, dan di mana mendapat informasi tambahan jika apa yang pernah diterima masih kurang jelas.

d. Program yang diperkenalkan itu didukung oleh sarana dan kemampuan individu-individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Didukung oleh sarana yang dimaksudkan bahan yang diperkenalkan itu tersedia di daerahnya atau barang itu mudah didapatkan. Dan didukung oleh kemampuan yang dimaksudkan ialah bahwa individu-individu dalam masyarakat itu mampu untuk membelinya.

e. individu-individu dalam masyarakat target (sasaran) itu melihat atau tahu keuntungan yang akan diperoleh dengan digunakannya hal-hal yang baru itu. Keuntungan dalam hal ini menyangkut keuntungan social atau keuntungan ekonomis.

f. Program-program yang diperkenalkan itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat sasaran.

g. Program itu didukung oleh tokoh masyarakat dan penguasa setempat.

h. Agen pembangunan menyediakan dana dan tenaga untuk pelaksanaan pembangunan.

2. MASYARAKAT

Masyarakat atau society menunujuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa (dalam Soekanto, 2001:162-163). Kartasapoetra dan Hartini (2007:394) menyatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang sedikit banyak mempunyai kesatuan yang tetap dan tersusun dalam aktivitas kolektif mereka dan merasakan bahwa mereka dapat bersatu. Apabila anggota suatu kelompok itu besar ataupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut masyarakat. Sebagai perumpamaan, kebutuhan seorang, tidak mungkin secara keseluruhan terpenuhi apabila dia hidup bersama-sama rekan lainya yang sesuku. Dengan demikian, kriteria yang utama bagi adanya suatu masyarakat adalah adanya hubungan sosial antara anggota kelompok. Dapat dikatakan bahwa masyarakat menunjuk pada bagaian kelompok orang yang bertempat tinggal di suau wilayah dengan batas-batas tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar dari para anggotanya.

Masyarakat, seperti tersebut di atas, istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun bahasa sehari-hari, adalah masyarakat. Koentjaraningrat (2001:143-144) memakai istilah Latin untuk menyebut masyarakat yaitu, society yang berasal dari kata socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta” berpartisipasi.

Masyarakat adalah kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1995:146-147). Jadi masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap bersama. Dan masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soekanto, 1993:410).

3. PROGRAM P2KP/PNPM MANDIRI

Pelaksanaan PNPM Mandiri dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi; Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan; dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik. Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah. Pelaksanaan PNPM Mandiri juga dilaksanakan pada desa-desa tertinggal.

Dengan pengintegrasian berbagai program pemberdayaan masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan pembangunan diharapkan dapat diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir. Efektivitas dan efisiensi dari kegiatan yang selama ini sering berduplikasi antar proyek diharapkan juga dapat diwujudkan. Mengingat proses pemberdayaan pada umumnya membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka PNPM Mandiri akan dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalan dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada indikator-indikator keberhasilan yang terukur akan membantu Indonesia mewujudkan pencapaian target-target MDGs tersebut.

Program P2KP/ PNPM mandiri. P2KP/ PNPM mandiri merupakan program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pengertian yang terkandung dalam P2KP/ PNPM mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. P2KP/ PNPM mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat yang dimaksud dalam P2KP/PNPM mandiri adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai.

Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Program P2KP/PNPM Mandiri ada dua yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, yaitu:

1. Tujuan Umum: Meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri.

2. Tujuan Khusus:

a. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

b. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel.

c. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor).

d. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan kelompok perduli lainnya untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.

e. Meningkatnya keberadaan dan kemandirian masyarakat serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok perduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya.

f. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal.

g. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.

Pendekatan atau upaya-upaya rasional dalam mencapai tujuan program P2KP/PNPM mandiri dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan program adalah pembangunan yang berbasis masyarakat dengan:

a. Menggunakan kecamatan sebagai fokus program untuk mengharmonisasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program.

b. Memposisikan masyarakat sebagai penentu/pengambil kebijakan dan pelaku utama pembangunan pada tingkat lokal.

c. Mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses pembangunan partisipatif.

d. Menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya dan geografis.

e. Melalui proses pemberdayaan yang terdiri dari atas pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan.

Dalam pelaksanaannya, program P2KP/PNPM mandiri memiliki berbagai komponen yang sangat mendukung tingkat kesuksesan program P2KP/PNPM mandiri. Komponen tersebut adalah:

a. Pengembangan Masyarakat.

Komponen pengembangan masyarakat mencakup serangkaian kegiatan untuk membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat yang terdiri dari pemetaan potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif, pengorganisasian, pemanfaatan sumberdaya, pemantauan dan pemeliharaan hasil-hasil yang telah dicapai.

Untuk mendukung rangkaian kegiatan tersebut, disediakan dana pendukung kegiatan pembelajaran masyarakat, pengembangan relawan dan operasional pendampingan masyarakat; dan fasilitator, pengembangan kapasitas, mediasi dan advokasi. Peran fasilitator terutama pada saat awal pemberdayaan, sedangkan relawan masyarakat adalah yang utama sebagai motor penggerak masyarakat di wilayahnya.

b. Bantuan Langsung Masyarakat

Komponen Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) adalah dana stimulan keswadayaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan terutama masyarakat miskin.

c. Peningkatan Kapasitas Pemerintahan dan Pelaku Lokal

Komponen Peningkatan Kapasitas Pemerintah dan Pelaku Lokal adalah serangkaian kegiatan yang meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan pelaku lokal/kelompok peduli lainnya agar mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergis yang positif bagi masyarakat terutama kelompok miskin dalam menyelenggarakan hidupnya secara layak. Kegiatan terkait dalam komponen ini diantaranya seminar, pelatihan, lokakarya, kunjungan lapangan yang dilakukan secara selektif dan sebagainya.

d. Bantuan Pengelolaan dan Pengembangan Program

Komponen ini meliputi kegiatan-kegiatan untuk mendukung pemerintah dan berbagai kelompok peduli lainnya dalam pengelolaan kegiatan seperti penyediaan konsultan manajemen, pengendalian mutu, evaluasi dan pengembangan program. (Buku Pedoman Umum P2KP, 2005: 19-44).

I. KERANGKA BERPIKIR

Kerangka berpikir memaparkan tentang dimensi kajian utama faktor-faktor kunci, variabel-variabel dan hubungan antara dimensi-dimensi yang disusun dalam bentuk narasi dan atau grafis. Kerangka-kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah masyarakat sebagai sasaran pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri, memberikan peran serta dalam kegiatan pelaksanaanya berupa partisipasi aktif dalam kegiatan program P2KP/PNPM Mandiri sehingga terlaksanalah kegiatan program P2KP/PNPM Mandiri. Sangat menarik untuk mengetahui pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri, serta partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

Secara singkat kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan pada bagan berikut :



Text Box: Partisipasi Masyarakat


J. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penggunaan metode kualiatif dimaksudkan untuk mengungkapkan secara deskriptif tentang pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri dan pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

Pengunaan metode kualitatif dalam penulisan hasil penelitian ini dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu: (a) pendekatan kualitatif menyajikan secara langsung hubungan antara penulis dengan subjek penelitian dan informan. Artinya, penulis melakukan pengamatan dan wawancara secara langsung dengan subjek penelitian dan informan untuk mendapatkan data dan informasi tentang pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri, serta partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. (b) dengan pendekatan kualitatif, penulis melakukan penelitian pada latar ilmiah. Maksudnya, penulis melihat kenyataan yang ada di lapangan. Dalam hal ini penulis mengamati pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri, serta partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. (c) pendekatan kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan berbagai penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. (d) dengan pendekatan kualitatif tidak ada teori yang apriori, peneliti dapat mempercayai apa yang dilihat sehingga sejauh mungkin menjadi netral. Penulis melakukan pengamatan dan mencatat semua data tentang pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri, serta partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

2. Lokasi Penelitian

Pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang merupakan kegiatan pembangunan masyarakat bagi masyarakat Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Lokasi penelitian yang dipilih adalah masyarakat Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

3. Fokus Penelitian

Penelitian ini akan memfokuskan pada tiga masalah, yaitu:

a. Mengkaji bentuk pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang

b. Mengkaji pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

c. Mengkaji partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

4. Sumber Data Penelitian.

Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data yaitu :

a. Data Primer

Sumber data primer ada dua, yaitu:

1) Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Sumurboto, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang yang terlibat dalam program P2KP/PNPM Mandiri dan petugas BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) sebagai panitia pelaksana program P2KP/PNPM Mandiri.

2) Informan dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat sekitar Kelurahan Sumurboto, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang.

b. Data sekunder

Data sekunder yang digunakan adalah buku literatur, artikel, dan foto-foto yang relevan dengan tema/kajian penelitian. Buku literatur yang digunakan adalah buku yang berisi data tentang program P2KP/PNPM Mandiri, buku tentang pemberdayaan masyarakat, dan buku tentang pembangunan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data sekunder, yaitu kepustakaan dan dokumentasi.

1) Kepustakaan.

Data dalam penelitian ini selain diperoleh dari sumber manusia, sebagai bahan tambahan juga diperoleh dari sumber tertulis yaitu buku-buku atau literatur dan dokumen-dokumen yang terkait.

Buku ataupun dokumen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah buku-buku yang mengkaji mengenai pembangunan dan Program P2KP/PNPM Mandiri.

2) Dokumen.

Dokumen diartikan sebagai cara pengumpulan data melalui dokumen. Dokumen tertulis seperti arsip-arsip, buku-buku, surat-surat dan data-data yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Dokumen ini digunakan sebagai dasar mengungkap masalah yang ada dalam penelitian ini. Dokumen yang diperlukan adalah yang berkaitan dengan Program P2KP/PNPM Mandiri.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Metode Interview (wawancara)

Metode Interview dipergunakan untuk mendapatkan data tentang pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, dan partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

Wawancara dilakukan kepada subjek dan informan. Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat yang melaksanakan program P2KP/PNPM Mandiri dan pihak penyelenggara program P2KP/PNPM Mandiri. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah tikih masyarakat Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang secara umum.

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan nonformal dan kekeluargaan untuk menggali informasi yang sebanyak-banyaknya dengan informan. Tujuannya agar tidak ada kebohongan dalam memberikan informasi tentang partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

b. Metode Observasi (pengamatan)

Penulis melakukan pengamatan secara langsung kepada masyarakat Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang yang sedang melaksanakan program P2KP/PNPM mandiri. Pengamatan yang dilakukan yakni tentang partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program P2KP/PNPM mandiri.

c. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data dengan cara mengambil atau mengutip suatu dokumen atau catatan yang sudah ada yaitu untuk memperoleh data monografi, demografi dan data lainnya yang mendukung kelengkapan informasi mengenai partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, sehingga menambah kesempurnaan penelitian ini. Dokumentasi berupa foto kegiatan program P2KP/PNPM mandiri serta data monografi Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

K. VALIDITAS DATA

Pada penelitian ini, teknik triangulasi data yang digunakan dengan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan pengggunaan sumber, yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Ini dapat dengan jalan sebagai berikut:

1) Membandingkan data hasil pengamatan dan dat hasil wawancara.

2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.

5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Terpenting dari adanya hasil pembanding tersebut adalah kita dapat mengetahui adanya alasan-alasan terjadinya perbedaan tersebut. Artinya membandingkan data hasil wawancara tentang pelaksanaan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, pandangan masyarakat terhadap program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, partisipasi masyarakat dalam program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, dan tingkat keberhasilan program P2KP/PNPM Mandiri di Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik Kota Semarang dengan hasil pengamatan kembali terhadap sumber data. Dimana peneliti melakukan peninjauan ulang apabila terdapat kekurangan data dalam penelitian kali ini, hal ini bertujuan agar data yang diperoleh benar-benar valid.

L. METODE ANALISA DATA

Analisis data menurut Patton adalah proses mengurutkan data, mengorganisasikannya ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Moleong, 2004:280). Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen 1982, adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2004:248).

Data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan maupun wawancara dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan untuk kemudian disimpulkan dan dianalisis agar lebih mudah dipahami.

M. SISTEMATIKA SKRIPSI

Secara garis besar laporan penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari bagian pendahuluan, bagian isi, dan bagian penutup. Bagian pendahuluan berisi: halaman judul, abstraksi, lembar pengesahan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan daftar lampiran.

Bagian isi terdiri dari: Bab I pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, identifiksi dan pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, sistematika penulisan skripsi. Bab II terdiri dari tinjauan pustaka, Bab III terdiri dari metode penelitian, Bab IV terdiri dari hasil dan pembahasan. Bab V penutup, meliputi simpulan dan saran. Bab penutup terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.