Kamis, 11 Februari 2010

Kebo SiBuYa

Mungkin demonstrasi memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono telah cukup lama berlalu tetapi gaungnya terasa segar kembali setelah presiden SBY curhat tentang Kebo SiBuYa. Nampaknya, ada perbedaan pandangan dari banyak orang (termasuk presiden SBY sendiri) tentang ikutnya SiBuYa dalam demonstrasi.

Kebo Sibuya yang oleh demonstran diartikan sebagai lambannya kinerja kabinet pemerintahan (mungkin serupa dengan istilah Jawa: "klelar-kleler koyok kebo" yang berarti lambat seperti gerak kerbau), tetapi oleh presiden SBY dan sebagian orang diartikan sebagai pelecehan fisik (seperti yang dikatakan SBY: "Ada yang bawa kerbau. SBY badannya besar, malas, bodoh, seperti kerbau").

Adanya perbedaan pandangan seperti ini adalah hal yang wajar terjadi. Namun, alangkah indahnya ketika kita mampu memaknai suatu peristiwa dari berbagai sudutpandang, utamanya sudutpandang penutur (native point of view).

Demonstran sebaiknya mampu memahami karakter orang yang didemo dan pandangan yang tercipta atas media yang dibawa saat berdemo (saya memandang demonstrasi adalah suatu sarana komunikasi). Dari ini akan timbul pemahaman arti yang sama terhadap simbol-simbol komunikasi yang digunakan sehingga maksud dan tujuan dapat tersampaikan.

Sebaliknya, Presiden SBY sebagai kepala negara hendaknya mampu menganalisa apa keinginan rakyat, bukannya bertindak sebagai 'korban'. Reaksi yang diungkapkan presiden SBY tampak berlebihan. Presiden seharusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kenegaraan yang dipertanyakan dalam demonstrasi bukan berlaku cengeng dengan curhatnya layaknya anak kecil yang mengadu pada ibu karena diejek teman mainnya.

Mungkin adanya SiBuYa dalam demonstrasi kemarin terasa kasar (bahkan untuk sebuah sindiran), tetapi perlu kita lihat mengapa demonstran membawa SiBuYa berdemo-ria. Adakah ini bentuk kekesalan demonstran karena aspirasi yang diungkapkan dengan sopan tak pernah mendapat tanggapan positif? Apapun itu, tak ada asap jika tak ada api.