Kamis, 15 April 2010

Anekdot: Penggusuran Kantor SATPOL-PP

Kantor SATPOL-PP yang berada disebelah kantor walikota menjadi sengketa. Pihak SATPOL-PP merasa bahwa kantor itu telah lama ditempati & SATPOL-PP memiliki surat bukti hak tanah & bangunan tersebut. Di lain pihak, ada sebuah perusahaan pengembang yang juga merasa memiliki hak beserta bukti kepemilikan atas tempat yg disengketakan itu.

Masing-masing pihak merasa punya hak. Karena proses perundingan yg alot maka dibawalah kasus itu ke meja hijau. Melalui proses peradilan yg ada, dikeluarkanlah vonis dari majelis hakim bahwa pihak perusahaan pengembanglah yg berhak atas tanah itu. Dan berdasarkan keputusan pengadilan maka SATPOL-PP diperintahkan mengosongkan & membongkar kantor dlm jangka waktu yg telah ditentukan.

Setelah berakhirnya waktu toleransi yg diberikan oleh pengadilan, SATPOL-PP belum juga pindah karena belum memiliki kantor yang baru. Dan segeralah turun surat perintah dari pengadilan kepada aparat/instansi penegak PERDA yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja atau yang lebih kita kenal dengan sebutannya yg gagah= SATPOL-PP..!!

Saat hari pelaksanaan eksekusi, berkumpullah aparat SATPOL-PP yang sedang bertugas bersama dengan aparat dari BRIMOB di halaman balaikota (kantor walikota) untuk mengadakan apel pengarahan. Setelah itu, bergeraklah mereka menuju kantor SATPOL-PP untuk mengadakan eksekusi alias penggusuran. Tanpa mereka sadari mereka sudah ditunggu aparat SATPOL-PP lain yang sedang tidak bertugas beserta senior pensiunan SATPOL-PP. Aparat SATPOL-PP yang tidak bertugas & para pensiunan SATPOL-PP merasa mereka masih berhak atas kantor itu karena merasa bahwa pihak peradilan telah salah mengambil keputusan. Peradilan yang penuh makelar. Pengadilan yang tak lagi independen karena pengaruh markus.

Aparat SATPOL-PP yang tidak bertugas melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan eksekusi. Aparat SATPOL-PP yang bertugas, dengan atas nama tugas tetap bersikeras membongkar bangunan kantor tersebut. Terjadilah percekcokan, kerusuhan, bentrok, adu jotos, dan apapun namanya itu. Karena kekuatan yang tidak berimbang maka robohlah kantor itu, luluh lantak, rata tanah terkena terjangan alat-alat berat. Menangislah sekumpulan aparat SATPOL-PP yang tidak bertugas & pensiunan SATPOL-PP itu melihat kantornya kini tak lebih tinggi dari sepatu boot berbahan kulit yang dipakainya saat bertugas. Namun sebaliknya, aparat SATPOL-PP yang sedang bertugas mantap dalam hati berkata: “telah kutunaikan tugas dengan baik & penuh tanggung jawab.”

Maka setelah itu, aparat SATPOL-PP yang bertugas menuju halaman balaikota untuk mengadakan apel evaluasi. Mereka puas & bangga karena telah menyelesaikan tugas. Lalu kembalilah mereka ke kantor, betapa remuk hati mereka melihat kantornya kini tak lebih tinggi dari sepatu boot berbahan kulit yang masih dipakainya.
Maka serentak mereka berkata: "beginilah nasib kami, nasib rakyat kecil."

Kamis, 11 Februari 2010

Kebo SiBuYa

Mungkin demonstrasi memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono telah cukup lama berlalu tetapi gaungnya terasa segar kembali setelah presiden SBY curhat tentang Kebo SiBuYa. Nampaknya, ada perbedaan pandangan dari banyak orang (termasuk presiden SBY sendiri) tentang ikutnya SiBuYa dalam demonstrasi.

Kebo Sibuya yang oleh demonstran diartikan sebagai lambannya kinerja kabinet pemerintahan (mungkin serupa dengan istilah Jawa: "klelar-kleler koyok kebo" yang berarti lambat seperti gerak kerbau), tetapi oleh presiden SBY dan sebagian orang diartikan sebagai pelecehan fisik (seperti yang dikatakan SBY: "Ada yang bawa kerbau. SBY badannya besar, malas, bodoh, seperti kerbau").

Adanya perbedaan pandangan seperti ini adalah hal yang wajar terjadi. Namun, alangkah indahnya ketika kita mampu memaknai suatu peristiwa dari berbagai sudutpandang, utamanya sudutpandang penutur (native point of view).

Demonstran sebaiknya mampu memahami karakter orang yang didemo dan pandangan yang tercipta atas media yang dibawa saat berdemo (saya memandang demonstrasi adalah suatu sarana komunikasi). Dari ini akan timbul pemahaman arti yang sama terhadap simbol-simbol komunikasi yang digunakan sehingga maksud dan tujuan dapat tersampaikan.

Sebaliknya, Presiden SBY sebagai kepala negara hendaknya mampu menganalisa apa keinginan rakyat, bukannya bertindak sebagai 'korban'. Reaksi yang diungkapkan presiden SBY tampak berlebihan. Presiden seharusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kenegaraan yang dipertanyakan dalam demonstrasi bukan berlaku cengeng dengan curhatnya layaknya anak kecil yang mengadu pada ibu karena diejek teman mainnya.

Mungkin adanya SiBuYa dalam demonstrasi kemarin terasa kasar (bahkan untuk sebuah sindiran), tetapi perlu kita lihat mengapa demonstran membawa SiBuYa berdemo-ria. Adakah ini bentuk kekesalan demonstran karena aspirasi yang diungkapkan dengan sopan tak pernah mendapat tanggapan positif? Apapun itu, tak ada asap jika tak ada api.