SOSIOLOGI AGAMA
A. Definisi Agama Menurut Durkheim
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan
praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang
kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi
suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur
yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu
"sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama
tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural,
tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan
menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di
sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat
dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri
tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu
memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang
historis.
B. Sifat Kudus Dari Agama
Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan
agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat
kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi
oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang
memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini
dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya.
Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan
masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem,
lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme
Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap
sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat
tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam
totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia
ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan
kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus
itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut
sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat
kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu
kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari
rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh
masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya
bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga
setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan
menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian,
"kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat
hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu
tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung
dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.
C. Ritual Agama
Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu
melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu
bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin
dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang
berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam
suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang
berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan
merupakan intinya.
Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.
Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.
D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki
hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak
mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi
hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari
perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah
sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh
fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan
bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep
itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan
adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek
dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang
timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan
pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide
mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan
panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi
yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat
menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.
Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti
yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari
obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada
obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan
masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di
dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci
mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita
lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan
dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap
totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak.
Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk
tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu
upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda
dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada
saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka
Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek
kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan
individu-individu.
Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah
ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat
tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan
agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena
fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat
bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara
keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada,
di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak
sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus
menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu
turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme
adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari
bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan
pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep
dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga
dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan.
Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional
individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama
seperti agama.
E. Moralitas Individual Modern
Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang
melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah
disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama
ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas
individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan
satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu
memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila
orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu
tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan"
yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.
Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern
ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah
mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan
bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas
individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme,
yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan
bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri,
sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual),
menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh
konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian
dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu
bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya
justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral,
seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi
hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.
Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya
bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada
hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan
kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam
masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan
keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan
subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada
masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan
moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal
ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang
penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi
egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang
diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya
dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan
egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah
bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis
yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat.
Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial,
pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu
dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi
moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai
dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini
dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat
dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.
Sumber Acuan:
Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986
Sumber: http://kurikulumdua.blogspot.com/2011/05/sosiologi-agama.html